Pohon Enau dalam bahasa Indonesia
disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di
Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya ‘nau,
hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot’. Tumbuhan ini dapat
tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada
daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara
500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo Sumatera Utara.
Tumbuhan enau atau aren dapat
menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna,
setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai
minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan
sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang
tinggal di daerah dataran tinggi.
Dalam tradisi orang Batak, tuak juga
digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan
manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa
jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu
meninggal dunia.
Sementara dalam upacara manulangi,
tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada
arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya
adalah kenapa tuak(nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan
sosial-budaya orang Batak?
Menurut cerita, pohon enau merupakan
jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu
diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan
masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan
si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya
yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba
untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh
penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Siboau menolong abangnya?
Alkisah, pada zaman dahulu kala di
sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang
suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang
laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama
Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak
berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal
dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang
istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi
kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita
itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya
yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua
mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya
diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh
tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi
gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah
mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk
mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin
terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!” demikian si Tare
Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi
oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa
berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk
mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?”
Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani
bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera
kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan
lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya,
meskipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan
penuh keyakinan.
Keesokan harinya, setelah berpamitan
kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang.
Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan
segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak
kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap
agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung
datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang
dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya
mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan
memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras.
Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu
ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan,
sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai
taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun
meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia
mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin
menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung
oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru
Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat
menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari
abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari
si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan
belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu
ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek
bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah
bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek
tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar
namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah
mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada
sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri
itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu
di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi.
Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu.
Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun
segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera
mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di
puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil
menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar
sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Beru Sibou
bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang
mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan
berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua
tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku
bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan
seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang
memasung abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu
lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi
mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang
menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi
pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman.
Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah.
Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling
untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon
Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini
bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa
tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira,
mereka menyanyikan lagu enau.
Cerita di atas termasuk ke dalam
cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral
yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan
menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi.
sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat
menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh
jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan
orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan
abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat
tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri
teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar